Minggu, 22 Maret 2009

Kondom Paus





Sebenarnya di masyarakat kita sudah lama terjadi pro-kontra soal kampanye penggunaan alat kontrasepsi satu ini sebagai sarana pencegah penyakit AIDS dan penyakit seksual lain. Sebelum sampai pada alasan moral, baiknya kita pikirkan dulu “mekanisme” penggunaan alat ini dalam kaitannya dengan tujuan pencegahan tersebut. Tentunya itu lebih banyak dipakai di luar wilayah rumah tangga bukan? Sebab, penggunaan kondom di dalam rumah tangga untuk tujuan khusus itu saya kira kecil sekali persentasenya. Hal itu hanya dilakukan oleh pasangan yang salah satu atau kedua-duanya telah terjangkit atau yang rawan terkena penyakit seksual tersebut.



Berdasarkan logika itu, tentu memang sangat dianjurkan pemakaian kondom sebagaimana dikampanyekan oleh Baby Jim Aditya. Penekanan Jim memang pada kelompok yang sudah biasa beroperasi di luar pasangan resmi mereka. Artinya, daripada nggak pakai, tentu risiko terkena penyakit jauh lebih besar.



Tentu saja, buat mereka harus pula dikampanyekan penggunaan “kontrasepsi moral” bahwa lebih diridai untuk kembali ke rumah tangga masing-masing. Yang belum berumah tangga juga mesti tahan diri.



Buat mereka yang termasuk dalam kategori rumah tangga baik-baik, pertahankanlah kesetiaan antarpasangan. Kondom pun bisa dipakai sebagai alat KB.



Nah, lalu apa urusannya dengan kondom Paus (Benedictus XVI)? Apa pemimpin umat Katolik itu juga pakai kondom? Ya, enggaklah. Paus justru mengkritik para aktivis yang mengampanyekan penggunaan kondom sebagai pencegah AIDS (dan penyakit seksual lain). Bahkan, menurutnya, penggunaan kondom merupakan kesalahan “mutlak dan tak diragukan lagi”. Kondom bukan jawaban bagi upaya memerangi HIV-AIDS. Penggunaannya hanya akan menambah jumlah penderita penyakit AIDS. Nah lho. Ini merupakan pernyataan tegas pertama Paus kepada publik mengenai penggunaan kondom.



Tak urung, pernyataan Paus menuai kontroversi. Pernyataan Paus itu bertentangan dengan pendapat banyak pejabat kesehatan dunia yang menganjurkan penggunaan kondom untuk mencegah persebaran virus HIV sebagai penyebab penyakit AIDS. Bahkan ada pejabat yang mengecam pernyataan Paus.


Presiden Majelis Kesehatan Dunia (WHA) Leslie Ramsammy yang juga Menteri Kesehatan Guyana dan saat ini dipilih oleh Organisasi Kesehatan Pan Amerika (PAHO) untuk memimpin upaya memerangi HIV-AIDS, misalnya, mengecam seruan Paus itu. Menurutnya, pemimpin Gereja Katolik Roma itu menciptakan kebingungan dan menghalangi strategi dalam memerangi penyakit AIDS.


“Pernyataan Paus tidak konsisten dengan ilmu pengetahuan. Ini tidak konsisten dengan pengalaman kita dan tidak seperti pengalaman dan keyakinan penganut Katolik,” tandasnya.



Sebaliknya, Ramsammy merekomendasikan penggunaan kondom sebagai bagian dari strategi menyeluruh melawan persebaran HIV dan AIDS, termasuk pendidikan, kesetiaan pada satu pasangan, dan monogami.



Pihak Vatikan pun mencoba menjelaskan maksud pernyataan Paus. Juru Bicara Vatikan Federico Lombari mengatakan bahwa keyakinan atas keamanan pemakaian kondom telah gagal untuk memusatkan perhatian pada tanggung jawab pribadi. Menurut Lombari, ucapan Paus itu sejalan dengan doktrin gereja Katolik yang menentang penggunaan alat-alat kontrasepsi.



Menurut saya (hehehe, kali ini aku pilih pakai kata ganti saya aja ya), kedua kubu pendapat yang tampak bertentangan itu masing-masing dapat diarahkan pada “mekanisme” sebagaimana telah saya sebut untuk mengawali soal pernyataan kondom Paus. Intinya, baik kondom maupun “kontrasepsi moral” dapat saling memperkuat pertahanan terhadap serangan HIV-AIDS jika dipilah-pilah sebagaimana telah saya jelaskan: kondom wajib + moral mesti dikampanyekan buat “para pendosa” dan moral + kondom sebagai pilihan buat para keluarga baik-baik.



Di luar kedua kubu (Paus dan para aktivis pencegah HIV-AIDS) yang pada dasarnya memiliki tujuan moral yang sama itu, saya melihat ada jenis yang fokus pada urusan cari untung tanpa mau repot-repot menanggung efek buntung para pengguna kontrasepsi jenis “sarung” itu. Merekalah para pedagang kondom seperti yang saya baca perihal pemilihan calon pemasar produknya berikut ini.



'Event



Satu per satu gadis belia dari 12 finalis Fiesta Babes yang baru saja memasuki panggung itu menyapa pengunjung dengan senyum dan wajah yang dipasang sesensual mungkin. Hadirin pun merangsek mendekati para "naughty angels" yang mengenakan kaus dan celana supermini dengan tambahan sayap di punggung.


"Ke-12 finalis ini adalah mereka yang kami seleksi dari 60–80 wanita yang mendaftar sebagai Fiesta Babes," kata Pierre Frederick, Senior Brand Manager Fiesta (sebuah merek kondom), mengenai acara yang digelarnya itu.


Ya, 12 finalis itu adalah para kandidat "brand ambassadors for condoms". Acaranya digelar di X2 Club di Plaza Senayan Jakarta. Menurut Pierre, ini acara ini merupakan yang pertama dari Fiesta dunia sehingga mereka bisa menjadi model produk di negara lain. Bahkan di AS sebagai negara asalnya, konsep acara begini belum ada.


Pokoknya, walhasil menurut Pierre, kondom perlu memiliki duta merek (brand ambassador) karena terutama di Indonesia ini banyak orang yang belum mengetahui apa sebenarnya fungsi atau keunggulan kondom.


"Fiesta Babes akan menjadi bagian dari mereka yang teredukasi dan bisa mengampanyekan kesehatan dan kegunaan kondom," papar Pierre. Dia pun berusaha menaikkan imej Fiesta ke kalangan atas (upperclass), semacam premiumisasi.


Itulah paparan yang kukutip dari majalah MIX Marketing Xtra kelompok media SWA edisi 12 Januari–8 Februari 2009, halaman 20–23.


Ya mereka memang para penjual kondom. Jadi ya terkesan “yang penting jualannya punya imej tinggi (kelas premium) dan laku”. Soal cara jualannya enggak klop dengan suara para penganjur moral, apalagi dengan pernyataan keras Paus, tampaknya itu kurang dipedulikan.



Lihat saja, bukankah para Fiesta Babes dengan dandanan superseksi itu seperti menarik-narik hasrat “begituan” dengan segera, siapa pun pasangannya, termasuk dengan mereka. Akan sangat beda kalau produk mereka dipasarkan saja via orang-orang semacam Baby Jim Aditya, insya Allah akan tepat sasaran minim perselingkuhan baru karena sasaran Jim sudah jelas.



Ah, tapi jangan-jangan para pedagang kondom itu pun merasa pasarnya sudah jelas, segmented, hanya mereka-mereka yang doyan ke klub. Namun, apakah orang-orang itu rela dianggap sebagai para penganut seks bebas?


Entahlah.



Ket. : Berita soal pernyataan Paus saya sarikan dari sumber-sumber berikut ini: AFP-via-health.yahoo.com, voanews.com/english, dan voanews.com/indonesian. Gambar dari voanews.com/indonesian dan mix.co.id.

5 komentar:

  1. wah seru...
    salam kenal ya

    BalasHapus
  2. Salam kenal jg mas antown. (Bener nih, belum kenal?)
    Klo mas perlu kondom, hubungi saya ya.

    BalasHapus
  3. kontroversi penggunaan kondom utk memfilter penyakit seksual memang sudah lama muncul, mas baihaqi. namun, baru kali ini saya membaca pernyaaan paus ttg masalah penggunaan kondom sbg upaya mencegah virus HIV. bisa jadi, paus menggunakan sudut pandang moral dan religi semata, sehingga tanpa pakai kondom pun orang sudah bisa membentengi diri dari hubungan seksual di luar pasutri. tapi kan juga ndak bisa disamakan dg kasusnya dg orang2 yang berbeda pandangan dg paus toh?

    BalasHapus
  4. Betul, Pak Sawali, memang gak bisa disamakan. Tapi, klo boleh memilih, saya pilih pendekatan seperti Baby Jim saja. Dia tidak mengabaikan moral, tapi juga tetap menolong orang2 yang sudah keblusuk dan potensial keblusuk ke "lembah peranuan ilegal". Yang saya hindari (kurang sreg) adalah cara2 seperti para penjual kondom itu.

    BalasHapus
  5. Teruslah berkarya...sungguh luar biasa,penuh kreatifitas..............

    BalasHapus